Merengkuh Limbah Pinang jadi Produk Ramah Lingkungan, Ini Perjalanan Rengkuh Banyu Mahandaru
“India negaranya mirip dengan Indonesia. Yang menarik perhatian saya adalah mereka (warga India) itu sudah menggunakan daun-daunan dalam peralatan makanan, mau itu dimakan langsung ataupun makanan yang take away. Kita juga dulu kan membungkus makanan dengan daun-daunan,” ungkap Rengkuh Banyu Mahandaru yang dilansir dari swa.co.id
Sumber: swa.co.id |
Apakah kamu sering membeli makanan secara online? Atau makanan yang dibeli untuk dibawa pulang? Biasanya ketika membeli makanan yang dibungkus baik secara online atau offline, penjual akan menggunakan wadah berbahan styroform atau kantong plastik. Ketika sudah selesai digunakan, styroform ini akan dibuang begitu saja.
Padahal styroform merupakan jenis sampah yang tidak mudah terurai. Bahkan ada yang menyebut styroform ini sebagai sampah abadi saking sulitnya untuk diuraikan. Styroform merupakan material berbahan expanded polystyrene yang bisa menimbulkan zat berbahaya di dalamnya. Styrofoam masuk kedalam kategori sampah plastik yang mengandung zat berbahaya, seperti benzene dan styrene.
“Dalam proses pembuatan styrofoam, zat chlorofluorocarbon atau CFC ikut terlibat. Zat itu bermasalah bagi lingkungan. Setelah jadi pun, styrofoam tidak bisa terurai. Ini tambah masalah lagi,” ungkap Enri Damanhuri, dosen Teknik Lingkungan ITB. Dari Instagram Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, dijelaskan bahwa styroform membutuhkan waktu 500 hingga 1 juta tahun untuk dapat terurai di tanah.
Dari kegelisahan inilah, seorang pemuda bernama Rengkuh Banyu Mahandaru mencetuskan ide untuk menggantu styroform dengan bahan yang lebih ramah lingkungan yakni dari pelepah pinang. Produk ini diberi nama Plepah.
Rengkuh mendapatkan inspirasi Plepah dari Kota Jaipur India. Di sana, masyarakatnya menggunakan piring dan mangkuk-mangkuk kecil yang terbuat dari dedauanan tanaman endemik seperti jati yang dikeringkan. Dari inspirasi ini, Rengkuh kemudian mendapatkan ide untuk mengolah pelepah pinang menjadi kemasan makanan sekali pakai.
Dari Mana Bahan untuk Pembuatan Plepah?
Sumber: Cantika |
Pemilihan bahan plepah pinang sebagai bahan untuk pembuatan kemasan makanan sekali pakai bukan tanpa alasan. Bahan plepah pinang dipilih karena ketersediaannya masih berlimpah namun dianggap sebagai limbah. Ketersediaan plepah pinang ini masih cukup besar, di Sumatera mencapai 150.000 hektar. Sejauh ini pelepah pinang yang digunakan Rengkuh masih dari Sumatera Selatan dan Jambi.
“Dulu saya bukan penggerak lingkungan, dan bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Satu waktu, saya pesan makanan yang dipesan 1, tapi yang datang 3 packaging semua styrofoam,” ujar Rengkuh Banyu Mahandaru dalam acara Kick Off 15th SATU Indonesia Awards 2024. Bayangkan saja dari pemesanan makanan dari satu perangkat gadget saja bisa menghasilkan sampah yang lebih banyak dari jumlah makanan yang dipesan.
Pemilihan pelepah pinang karena bahan ini lebih mudah pembuatannya jika dibandingkan dengan piring dan dedauanan seperti di Jaipur, India. Ini karena untuk membuat piring dan mangkuh di Jaipur diperlukan penjahitan.
Di Indonesia sendiri juga masih banyak masyarakat yang menggunakan tradisi memanfaatkan daun untuk membungkus makanan. Misalnya, di Cirebon, masyakaratnya masih menggunakan daun jati untuk membungkus nasi jamblang. Di daerah lain juga masih banyak yang menggunakan daun pisang untuk membungkus makanan.
Mendapatkan Dukungan Dana
Sumber: kompas.id |
Rengkuh Banyu Mahandaru mendapatkan dukungan dana dari BRI Ventures serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Di tahun 2022 Rengkuh juga mendirikan unit produksi kemasan makanan dari pelepah pinang yang cukup besar di Cibinong, Jawa Barat. Kapasitas produksinya ini mencapai 160.000 potong kemasan per bulan dengan pasar utama ekspor hingga 80 persennya.
Dari produksi ini, ada sekitar 18-20 persen untuk memenuhi pasar dalam negeri. Di dalam negeri harga satu kemasan pelepah pinang masih tergolong tinggi, antara Rp 2.500 sampai Rp 4.500. Pada 2023, Rengkuh juga diminta untuk mengikuti pameran di Jerman. Dari pameran ini, Rengkuh mendapatkan banyak permintaan dari luar negeri. Namun, regulasi dalam negeri tentang kandungan kimia, bakteri, serta bukan hasil deforestasi belum dianggap sebagai patokan global. Ini menjadi tantangan dan kesulitan bagi Plepah untuk melakukan ekspor ke luar negeri.
Dari sekian banyaknya permintaan luar negeri, hanya Australia yang bisa dipenuhi. Itu pun melalui perantara pengusaha Dubai yang datang ke Jakarta pada November 2023 untuk menemuinya. Baru-baru ini terkirim satu kontainer berisi 150.000 potong kemasan. Selanjutnya, Australia minta dikirim bahan mentahnya saja.
Tidak berhenti di produk kemasan makanan, Rengkuh juga mengembangkan produksi sumber energi biomassa di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dengan biomaterial meliputi tandan sawit kosong, ampas tebu, kayu, kulit beras, dan sebagainya.
”Pada Oktober 2023 sudah terkirim beberapa ton biomassa untuk bahan bakar pembangkit listrik di Jawa Tengah,” ujar Rengkuh, yang dilansir dari Kompas.com.
Atas kontribusinya ini, Rengkuh Banyu Mahandaru menjadi salah satu penerima apresiasi 14th SATU Indonesia Award kategori kelompok. “Kalau berorientasi pada profit itu memang menyenangkan, tapi kalau berorientasi pada impact itu sangat sedih buat kami. Ketika inisiatif ini dimulai tujuannya adalah meng-adress isu dalam negeri, cuma mungkin belum saatnya,” tambah Rengkuh yang dilansir dari Kompas.com.
Sumber: kompas.com |
Referensi:
1. https://www.kompas.id/baca/tokoh/2024/04/11/rengkuh-banyu-mahandaru-dan-analogi-tusuk-gigi?status=sukses_login&status_login=login&loc=hard_paywall
2. https://swa.co.id/read/406666/cerita-rengkuh-bangun-startup-plepah-berawal-dari-keresahan
3. https://money.kompas.com/read/2024/03/05/060700926/cerita-rengkuh-banyu-mahandaru-bangun-bisnis-kemasan-ramah-lingkungan-plepah-?page=all#google_vignette
4. https://www.dml.or.id/inovasi-plepah-solusi-pembungkus-makanan-ramah-lingkungan-oleh-rengkuh-banyu-mahandaru/
Get notifications from this blog