Diana Cristiana Dacosta Ati: Mencintai Indonesia dengan Pendidikan di Papua
Diana Cristiana Dacosta Ati harus berpisah dengan ayah tercinta ketika Timor Leste (Timor-Timur) memilih untuk melepaskan diri dengan Indonesia. Ia dan ibunya memilih menjadi warga negara Indonesia, sedangkan ayahnya memilih menjadi warga negara Timor Leste. Ini membuat Diana Cristiana Dacosta Ati hanya bisa bertemu dengan ayahnya di perbatasan.
“Saya dan ibu terpaksa harus berpisah dengan Ayah sampai sekarang. Kami hanya bisa bertemu di pintu batas,” cerita Diana.
Keputusan memilih menjadi warga negara Indonesia bersama ibunya, membuat rasa cinta tanah air dalam diri Diana. Karena rasa cinta tanah air ini, setelah lulus kuliah, Diana memutuskan untuk melanjutkan studi ke Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT.
“Pengalaman pergolakan soal kewarganegaraan di masa kecil membuat saya semakin hari mencari cara untuk menunjukkan kecintaan pada bangsa. Bahkan waktu kuliah saya memilih jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan," kata Diana.
Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan akhirnya membawa Diana sampai ke Papua. Diana Cristiana Dacosta Ati memilih menjadi guru di daerah terpencil yaitu Sekolah Dasar Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua
“Saya bangga mengabdi di wilayah terluar. Saya ingin membuktikan ketulusan hati saya sebagai warga negara yang baik sekaligus guru yang tulus mendidik anak-anak Papua," ungkapnya yang dilansir dari hidupkatolik.com.
Jatuh Cinta dengan Papua Lewat Lagu
Kecintaan Diana terhadap tanah Papua dimulai sejak pertama kali Diana sampai di tanah ini, yakni melalui lagu yang didengarnya. Lagu ini merupakan karyawa dari Edo Kondologit. Liriknya adalah “Tanah kami tanah kaya, kami berenang di atas minyak, tidur di atas emas…”
Bagi Diana lirik lagu ini memiliki pesan yang sangat mendalam. Ia meyakini bahwa anak-anak Papua itu lebih hebat dari anak-anak kota lainnya. Mereka memiliki kebebasan bermain tanpa gedget, tangguh di hutan, pandai berburu, bertani dan menangkap ikan.
Tidak hanya itu, lagu dengan judul "Suara Kemiskinan" tersebut juga dapat menggambarkan kondisi Papua saat ini. Papua merupakan tanah yang diberkati dan sangat kaya akan sumber daya alam seperti dalam istilah “penuh dengan susu dan madu”. Namun ini berbanding terbalik karena masyarakatnya masih hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, dan belenggu. Istilah seperti pribahasa “bagai tikus mati di lumbung padi.”
Gambaran kehidupan 'miskin dan terbelakang' ada di Desa Kaibusene. Saat Diana pertama kali bertemu dengan anak-anak di SD tersebut, mereka tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Mereka juga tidak bisa menyanyikan lagi Indonesia Raya, bahkan oleh murid kelas enam. Bahkan, mereka tidak hafal Pancasila.
“Saya menangis pertama kalinya ketika melihat nasib anak-anak Indonesia di Papua. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, sebab tinggal di daerah terpencil dengan kondisi sekolah serba terbatas ditambah minim fasilitas. Ruang sekolah hanya tiga ruangan, itupun bercampur,” kisahnya.
Menjadi Guru Penggerak di Papua
Kedatangan Diana di Desa Kaibusene adalah untuk mengikuti Program Guru Penggerak yang saat itu diinisiasi oleh Bupati Mappi periode 2017-2022, Kristosimus Yohanes Agawemu, yang menjalin kerja sama dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat itu Bupati Mappi mengontrak sekitar 500-an guru untuk program yang berjalan selama 2 tahun.
Jika guru yang mengikuti program ini menginginkan melanjutkan mengajar dan Dinas Pendidikan Kabupaten Mappi menyetujuinya, kontrak dapat diperpanjang. Pada awalnya Diana bertugas di Desa Kaibusene, Distrik Haju. Namun ketika pandemi Covid-19 datang, kegiatan belajar-mengajar sempat dihentikan.
Namun Diana memutuskan untuk kembali ke Papua satu tahun kemudian setelah kontraknya berakhir di tahun 2020. Pada kesempatan kali ini, Bupati Kristosimus menempatkan Diana di Kampung Atti, Distrik Minyamur. Kampung Atti hanya memiliki satu sekolah dasar negeri, yakni SDN Atti di mana guru maupun kepala sekolah yang menetap di daerah lain tak pernah datang. Para siswa hingga yang kelas 6 pun belum bisa membaca.
Di sekolah ini, Diana fokus untuk mengatasi permasalahan buta huruf dan mengajari anak-anak kalistung hingga menyisipkan pendidikan nasionalisme. Untuk menyampaikan pendidikan nasionalisme, Diana dan rekan-rekannya mesti berhati-hati karena di sana banyak simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Diana pernah hampir ditombak murid kelas 6 karena tidak terima dimarahi saat buang air kecil sembarangan di dalam kelas.
Kampung Atti merupakan kampung yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga dan anak-anak banyak yang tidak bersekolah. Mereka memilih ikut keluarganya ke hutan untuk mencari makan.
Betah Tinggal di Papua dan Menjadi Penerima Satu Indonesia Award
“Hidup tak semata-mata soal uang dan karier yang mentereng di kota besar, namun juga pengabdian bagi sesama,” katanya.
Karena alasan itulah, Diana merasa betah tinggal di Papua. Ketika Diana pulang ke kampung halamannya, Diana akan merindukan Papua dan ingin segara kembali ke Papua. Hatinya sudah diberikan untuk Kampung Atti dan ini yang membuatnya akhirnya menjadi salah satu penerima apresiasi Satu Indonesia Award. Dari Satu Indonesia Award ini, Diana mendapatkan dukungan yakni inovasinya untuk pendidikan di Kampung Atti.
"Astra selalu memberi kami ruang untuk berkolaborasi dengan kegiatan yang kami lakukan setiap harinya di pedalaman. Pada kegiatan belajar mengajar, Astra men-support (dukung) tablet belajar agar anak-anak pedalaman mengenal digital learning (pembelajaran digital)," ujar Diana yang dilansir dari CANTIKA.
Menurut Diana, Astra juga memilik komitmen kuat menembus batas pedalaman yang selama ini jarang tersentuh oleh orang-orang di kota-kota besar.
"Dan, Astra juga selalu memonitor kegiatan apa yang mau kami lakukan dan kira-kira kegiatan apa yang bisa didukung oleh Astra," kata Diana.
"Pada intinya, kami mau berterima kasih kepada Astra yang sudah memilih program Guru Penggerak Daerah Terpencil sebagai pemenang dalam Satu Indonesia Awards bidang pendidikan tahun 2023. Dan, Astra mampu membuka mata orang-orang di Jakarta bahwa anak-anak pedalaman itu bisa maju, mereka hanya belum mendapat kesempatan belajar yang baik," ucap Diana.
Get notifications from this blog