Apakah Anak Terlahir untuk Menjadi Durhaka?
Katanya, sebelum kita terlahir ke dunia ini, kita sudah diperlihatkan seperti apa kehidupan kita nantinya. Kita yang terlahir ini katanya dulu memilih melanjutkan buat lahir.
Aku mendengar teori kelahiran ini sejak masih kecil dan dijelaskan di pengajian-pengajian. Tapi sebagai manusia yang berhasil lahir, aku nggak pernah mengingat dulu menyetujui untuk lahir. Saat remaja, aku mengalami perenungan yang luar biasa dan aku tahu aku menyesal udah lahir di dunia ini. Jika aku diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan "apakah kamu mau lahir" aku akan menjawa TIDAK.
Jika pun aku tetap harus lahir, aku ingin memilih orang tua. Aku ingin memilih orang tua yang memang siap menjadi orang tua. Lahir dari orang tua yang belum siap menjadi orang tua, korban pemaksaan pernikahan, dan dengan ekonomi menengah ke bawah membuatku harus menjalani kehidupan ini dengan penuh perjuangan.
Mereka bilang "Desi hebat" padahal aku harus mengalami masa-masa nggak boleh bunuh diri oleh diriku sendiri. Ada saat-saatnya aku muak kenapa aku harus terus berjuang untuk diri sendiri sampai aku nggak tahu apa yang sedang aku perjuangan. Apakah aku bahagia? Apakah aku nyaman dengan hidupku saat ini?
Anak Nakal dan Pembawa Sial
Sejak kecil aku mendapatkan cap anak nakal. Saat aku remaja aku pernah dibilang oleh ibuku sebagai anak pembawa sial. Aku lahir dengan keadaan sehat dan tumbuh dengan sehat pula. Sejak kecil aku sudah menaruh ketertarikan pada film dan membuat cerita. Desi kecil saat keinginannya tidak terwujud akan ngambek dan kabur. Di sinilah aku akan disabet (pukul) pakai kayu oleh bapakku.
Aku di masa kecil juga tidak suka mengaji dan selalu dipaksa mengaji dengan sabetan kayu. Aku tidak terlalu ingat apa yang aku pikirkan dan rasakan saat kabur lari-lari di malam hari. Mungkin aku sedang protes kenapa mereka tidak menuruti kemauanku. Tapi alih-alih ditanya apa mauku, mereka akan menghukumku dan menyakiti tubuh kecilku.
Sampai aku kuliah aku dicap sebagai anak nakal dan pemalas. Katanya aku nggak mau membantu pekerjaan orang tua, padahal aku setiap hari mencuci piring, kok. Aku bahkan tidak mengerti aku nakal dari mana karena kenyataannya aku nggak pernah melakukan hal-hal di luar norma yang ada. Maling aku nggak pernah, menipu aku juga nggak pernah, bahkan aku memilih hidup lurus dengan tidak pernah pacaran.
Sejak aku masuk sekolah, aku selalu menjadi anak yang berprestasi. Selama SD aku selalu mendapatkan juara kelas, bahkan juara 1 hingga 7 kali. Dengan keterbatasan yang orang tuaku miliki, harusnya mereka mensyukuri memiliki anak sepertiku. Saat mereka harus meninggalkanku ke rumah nenek-kakek karena mereka harus tinggal di gunung untuk menghasilkan duit pun aku nggak banyak protes. Padahal nenek-kakekku saat itu sangat tidak layak untuk ditumpangi.
Mereka pelit dan aku stres berat. Aku harus melalui masa remajaku tanpa dampingan orang tua. Aku bahkan nggak ngerti cara merawat diri, termasuk saat mulai menstruasi. Hari-hariku sering dihabiskan dengan menangis di rumah nenek dan kakek. Aku benci diriku dan hidupku saat itu. Aku berharap bisa meninggalkan diriku saat itu.
Lalu, aku menemukan teknik meninggalkan diri sendiri untuk sementara, yakni dengan menulis cerita. Aku yang saat itu suka banget sama film, juga menemukan teknik membuat cerita sesuka hati. Lalu aku jatuh cinta pada menulis. Aku memiliki cara untuk menghandle stresku, sampai saat ini aku masih melakukan hal ini.
Punya Cita-Cita, Tugas Orang Tua Adalah Menghalangi
Aku masih ingat, saat mendaftar sekolah SMP, aku berangkat sendirian naik angkot. Saat aku meminta uang sama ibuku aku cuma dikasih 2 ribu atau 3 ribu. Sesampainya di sekolah tujuan, aku harus beli map dimana membuat uangku habis. Akhirnya aku nggak punya uang buat naik angkot untuk pulang. Aku mau nggak mau harus jalan kaki, padahal berangkatnya aku sudah sangat bersemangat.
Saat kelas 3 SMP, aku mengikuti program masuk SMA favorit di kabupaten tanpa tes alias dengan nilai rapor. Aku diterima di posisi 10 alias paling akhir. Orang tuaku awalnya setuju untuk menyekolahkanku di SMA tersebut tapi mendadak membatalkannya setelah tahu biayanya yang mahal. Mau nggak mau aku harus mengikuti tes di SMA yang lebih dekat dari rumah. Aku menerimanya dengan lapang dada.
Saat SMA aku cuma punya motor buntut. Motor ini selalu bermasalah dengan busi dan aku harus bisa mengganti busi setiap motorku bermasalah. Aku sampai merasa diriku sangat sial saat itu karena ada aja kejadian yang nggak ngenakin yang aku alami setiap hari.
Aku saat SMA kelas 2 mulai berprestasi. Aku mendapatkan juara umum IPS dan mendapatkan keringanan SPP. Apakah aku minta ganti uang SPP yang harusnya dibayarkan orang tuaku? Enggak. Aku mengikhlaskannya untuk membantu biaya sekolahku. Bahkan aku harus menahan diri nggak kemana-mana dan bisa beli apa-apa karena yang saku yang aku miliki sangat terbatas, hanya 2 ribu dan 3,5 ribu alias seminggu 7 ribu.
Aku juga konsisten menulis. Aku setiap hari meluangkan waktu untuk menulis cerita. Tapi kata ibukku menulis adalah pekerjaan orang pemalas. Mereka nggak paham betapa berbakatnya aku ini T__T.
Menjelang kelulusan SMA aku pastinya ingin melanjutkan kuliah tapi orang tuaku melarangnya dengan keras. Ibukku bahkan mengancam akan minggat kalau aku tetap dikuliahkan olah bapak. Setiap ada pembahasan kuliah, aku akan dimarahi habis-habisan dengan emosi yang menggebu-gebu sampai aku mau nggak mau harus melepaskan mimpiku buat kuliah.
Setelah lulus aku kerja ikut jualan baju di pasar dengan upah Rp15 ribu. Aku masih ingin jadi penulis tapi tanpa kuliah ternyata mewujudkan mimpi menjadi penulis sangatlah sulit. Aku bahkan nggak percaya diri dengan diri sendiri karena nggak kuliah. Teman-temanku yang belum lanjut kuliah juga memutuskan untuk daftar kuliah. Akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar kuliah. Aku bawa temanku yang sudah kuliah untuk menjelaskan beasiswa kepada orang tuaku.
Aku diterima dengan beasiswa Bidikmisi full dibayarin dan dapat uang saku. Untuk membayar kosan di tahun pertama, bapak menjual motor yang biasa dipakai ke gunung. Apakah permasalahan dengan orang tua selesai sampai di sini? Enggak dong.
Aku tidak mendapatkan uang saku dari orang tua. Sejak awal kuliah aku harus mencari cara untuk menambah uang jajan. Dari jualan pulsa sampai aku menjual rajutan dan mendapatkan pendanaan bisnis mahasiswa dan lolos PINMAS.
Aku Berprestasi dan Bagi Orang Tuaku Itu Biasa Saja
Satu tahun ini aku tiba-tiba mikir, "Kenapa ya aku selalu menganggap diriku tanpa pencapaian? Padahal pencapaianku banyak banget."
Entah ini berhubungan atau enggak, tapi aku nggak pernah mendapatkan apresiasi dari orang tua. Mereka selalu bilang, "Karena kami miskin" ketika ada orang yang memuji prestasi kami, anak-anaknya. Ya sebetulnya aku juga tidak mau dibangga-banggakan juga, tapi setidaknya berikan apresiasi ketika anak-anak sudah tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan sehat.
Semalam orang tuaku bilang aku nggak punya rasa syukur dengan yang aku dapatkan saat ini. Menurut mereka aku beruntung bisa mendapatkan pekerjaan dari rumah dan nggak boleh mengeluh, harus selalu disyukuri. Padahal aku memperjuangkan pekerjaan ini tidak main-main. Aku bekerja keras setiap harinya agar bisa bertahan di pekerjaan ini. Bahkan aku selalu mengusahakan agar mood dan fisikku baik-baik aja agar bisa bekerja dengan baik.
Mereka bilang pekerjaan ini adalah pilihanku. Padahal mau sesuka apa kita sama kerjaan, kita juga bisa capek dan bosan.
Apakah Anak Terlahir untuk Menjadi Durhaka?
Menurut orang tuaku, aku bukan anak yang berbakti. Aku anak yang hanya peduli pada diri sendiri. Aku anak yang nggak bisa merawat orang tua. Tapi apakah mereka sebagai orang tua sudah menjadi orang tua yang berbakti kepadaku? Apakah mereka sudah mempedulikan keadaanku dan bisa merawatku dengan baik?
Bapakku selalu bilang begini, "Kamu nggak akan bisa lepas dari orang tua. Kamu tetap butuh bantuan orang tua sampai kapan pun." Ya nggak salah tapi nggak etis dikatakan kepada anak. Mereka merasa telah menjadi manusia paling berkorban karena memiliki anak, padahal di saat yang sama aku menyesal telah lahir ke dunia.
Kenapa orang tua di Indonesia raya ini mudah sekali melabeli anak-anak mereka dengan anak durhaka? Aku selalu dianggap sebagai orang yang nggak punya empati, padahal gimana aku bisa berempati kalau mereka saja nggak pernah mengajariku cara berempati?
Aku hidup untuk siapa sebenarnya? Untuk diri sendiri? Kenyataannya aku nggak bisa lepas dari orang tuaku. Aku takut jika sembrono mengambil langkah dan sial, aku nggak punya tempat buat pulang. Aku bahkan nggak tahu apa yang saat ini sedang aku cari. Orang tuaku bukan orang tua yang siap dengan kegagalan anak dan tidak menghargai prestasi yang dimiliki anak. Padahal gagal dalam hidup adalah hal yang sangat bisa terjadi.
Aku pernah gagal kerja dan dipecat setelah 3 minggu kerja. Apa yang orang tuaku lakukan? Aku diminta balik ke kosan padahal aku nggak punya kosan saat itu.
Bahkan sejak remaja aku sudah siap dengan predikat durhaka, tapi kenyataannya aku nggak pernah bisa durhaka. Ikatan anak dan orang tua itu selamanya. Aku selalu menyalahkan diri sendiri ketika terjadi apa-apa sama orang tuaku padahal selama ini aku juga nggak baik-baik saja karena mereka.
Aku yang berpendidikan yang harus mengerti. Aku harus mengerti keadaan orang tua, dengan segala kesulitan mereka di masa lalu. Mereka adalah anak-anak yang lahir dari orang tua yang belum siap memiliki anak. Lalu mereka menurunkannya kepadaku.
Aku bahkan tidak bisa bunuh diri atau mengakhiri hidupku sesuka hati. Semenyiksa apapun hidupku saat ini. Katanya aku nggak boleh boros dan harus makan seadanya, padahal dari mana aku bisa bahagia jika aku bahkan nggak bisa beli apapun yang aku mau dengan uangku sendiri?
Setiap langkahku saat ini pasti akan dianggap salah oleh orang tuaku. Bahkan jika aku mati saat ini, mereka akan menganggap aku yang bernasib sial atau jika aku bunuh diri, mereka akan melabeliku sebagai orang yang kurang iman.
Aku juga harus siap selalu dilabeli oleh ibuku sebagai 'orang nggak punya akhlak' dan harus bisa ikhlas menerima perkataan itu sewaktu-waktu dia marah. Bahkan untuk sedih aku nggak punya space, Aku harus bekerja dan mengatur diriku sebaik mungkin.
Orang-orang sepertiku ini, sebenarnya hidup untuk tujuan apa?
Get notifications from this blog