√ Pemaksaan Pernikahan dalam Ruang Lingkup Ketaatan dan Romantisasi - It's Me Desi Murniati
Copyright © oleh Desi Murniati - All Rights Reserved. Powered by Blogger.

Tuesday, September 3, 2024

Pemaksaan Pernikahan dalam Ruang Lingkup Ketaatan dan Romantisasi

pemaksaan pernikahan


"Emang kamu nggak mau bikin Ibu dan Bapak bahagia? Kami juga pingin lihat kamu menikah," adalah salah satu contoh ucapan paling klise orang tua yang ingin anaknya segera menikah.


Sebagai perempuan yang telah memasuki usia pernikahan, aku masih belum bisa memahami mengapa ada orang tua yang segitu ngebetnya ingin anaknya segera menikah. Desakan menikah ini pun tidak pandang bulu, mereka yang sudah punya pasangan dan yang belum punya juga sama-sama menjadi sasaran.


Entah sudah berapa kali aku mendengarkan curhatan teman tentang desakan pernikahan ini. Salah satunya adalah, "aku abis dijagongke (diajak duduk ngobrol serius) dan ditanyain kapan nikah." Padahal aku tahu banget saat itu temanku ini tidak punya pacar dan pertanyaan tersebut membuat dia sangat tertekan.


Nggak usah jauh-jauh, aku sendiri juga pernah mengalami desakan menikah ini. Biasanya dibuka dengan embel-embel, "Kamu kan sudah umur segini," lalu berlanjut membicarakan bahwa di masa depan hanya ada pernikahan.


Ketika teman-temanku curhat tentang desakan-desakan menikah ini, aku selalu meminta mereka untuk tetap tegar dan jangan memutuskan menikah dengan asal. Aku juga membagikan kekuatan untuk bertahan hingga menemukan orang yang tepat di konten Instagram. Aku pribadi sudah banyak melihat perempuan-perempuan yang menjadi 'korban' dari desakan pernikahan hingga pemaksaan pernikahan dengan alasan ketaatan dan romantisasi.


Tentu saja mereka tidak mau disebut sebagai korban. Namun menurutku ucapan orang tua yang mengatakan, "emang kamu nggak mau bikin kami bahagia dengan menikah?" sudah masuk ke kategori manipulatif karena pada akhirnya kebahagiaan orang tua nggak jadi jaminan kebahagiaan diri sendiri yang menjalani pernikahan. Kemudian karena ucapan orang tua tersebut membuat anak memutuskan menikah karena merasa bertanggung jawab untuk membahagiakan orang tua. 


Aku sudah melihat kasus-kasus ini di lingkungan tempat aku tinggi, di sebuah kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Namun jika melihat data yang ada, yakni dilansir dari Voa Indonesia, terdapat 213 kasus pernikahan bermasalah akibat pemaksaan perkawinan. Data ini diambil berdasarkan data putusan Mahkamah Agung selama 2018-2022.


Dari jumlah ini, 119 perkara diputus dengan perceraian oleh pengadilan agama. Sedangkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi kenaikan 300 persen atas kasus kawin paksa seiring dengan meningkatnya kasus pernikahan anak.


Masih dari Voa Indonesia, dikatakan bahwa kasus kawin paksa di Indonesia makin rumit diatasi karena diperkuat beberapa faktor, yakni budaya, tafsir, agama, dan regulasi negara yang memberi peluang legitimasi kawin paksa. Aku juga melihat kita tidak tahu batasan-batasan dalam perjodohan dan pemaksaan, jadinya banyak kasus pemaksaan pernikahan dengan dalih perjodohan berdasarkan syariat Islam.


Orang-orang Indonesia khususnya Jawa sering menggunakan pepatah 'witing tresno jalaran seko kulino' untuk mengawali pernikahan dengan pemaksaan ini. Katanya, jika sudah dijalani nanti juga lama-lama akan jatuh cinta. Padahal ada banyak kasus perceraian karena adanya pemaksaan pernikahan atau kawin paksa ini.


Dilansir dari Katadata, pada 2023, ada 314 kasus perceraian yang disebabkan oleh kawin paksa dari 251.828 kasus perceraian karena terjadi pertengkaran dan perselisihan.


Pemaksaan pernikahan atau kawin paksa ini sering terjadi pada anak di bawah umur (19 tahun) dan ini jadi kasus yang sering dilaporkan. Sedangkan mereka yang dipaksa menikah di usia dewasa sering kali menganggapnya tidak termasuk kawin paksa. Mereka menyebutnya sebagai perjodohan biasa yang mau sama mau.


Tapi menurutku pribadi, ketika pernikahan terjadi dengan embel-embel demi kebahagian orang tua, nanti kamu bisa hidup lebih baik, kamu nikah kapan lagi kalau bukan sekarang, kamu sudah terlalu tua untuk menikah, dan lainnya yang berupa tekanan untuk segera menikah, ini masuk ke dalam pemaksaan pernikahan.


Ketika seseorang didesak dan tertekan, dia tidak bisa memutuskan dengan pikiran jernih. Alih-alih menikah karena dirinya memang bersedia, mereka yang menikah karena tekanan ini memutuskannya dengan alasan kebahagiaan orang lain yakni orang tuanya.


Baru-baru ini aku menonton film berjudul Perjalanan Pembuktian Cinta yang diperankan oleh Dea Annisa. Jauh sebelum film ini tayang, aku juga sudah pernah menonton podcast dua tokoh di film ini yang memang diangkat dari kisah nyata. Di dalam film (dan juga podcast) diceritakan bahwa tokoh utama dijodohkan dengan laki-laki beristri dan ia ditinggalkan ketika sedang hamil.


Cerita tentang perjodohan ini pun cukup dramatis, dimana ini dilakukan demi keuntungan ayah tokoh utama. Sang ayah dijanjikan dibangunkan yayasan sendiri dari pernikahan anaknya ini. Alih-alih menerangkan bahwa perjodohan (pemaksaan pernikahan) yang dilakukan ayahnya salah, tokoh utama hanya menganggapnya sebagai cobaan hidup.


Padahal jika dilihat dengan lebih jeli lagi, apa yang dilakukan ayah tokoh utama bisa masuk ke kasus human traficking. Ayahnya menikahkan anaknya demi modal untuk membangun yayasan sendiri. Daripada menjelaskan bahwa apa yang dilakukan ayahnya ini salah, tokoh utama justru mengatakan bahwa apa yang dilakukan ayahnya itu demi keluarga dan dianggap nggak salah.


Selain film Perjalanan Pembuktian Cinta, ada juga film Hati Suhita yang menurutku masih dibungkus dengan pemaksaan pernikahan dari sisi Gus Birru. Gus Birru menikahi Alina Suhita demi orang tua dan sepanjang film kita akan melihat bagaimana straggle-nya Alina Suhita dalam menghadapi suami yang tidak mencintainya.


Menurutku Alina Suhita tidak perlu merasakan penderitaan sedemikian rupa di awal pernikahan jika ia dan Gus Birru dikasih waktu untuk saling mengenal dan memutuskan pernikahan atas kehendak sendiri, bukan atas dorongan kepentingan orang tua.


Selain dua film itu, ada juga film Argantara yang tidak hanya tentang pemaksaan pernikahan, tetapi juga tentang pernikahan di bawah umur. Namun dibandingkan menjelaskannya sebagai penyimpangan, film ini membungkusnya dalam bentuk romantisme yang wajar.


Jadi, bagaimana kita sebagai orang Indonesia bisa mengatasi pemaksaan pernikahan ini jika tontonan-tontonan yang seharusnya bisa menjadi pengetahuan justru mendukung dan meromantisasinya? Jangankan pada anak di bawah umur, orang dewasa jika sudah dihadapkan menikah demi kebahagiaan orang tua juga bisa luluh. Belum lagi dengan bayangan akan dicintai dan dicukupi oleh suami setelah menikah.


Ini yang akhirnya membuat pemaksaan pernikahan pada orang dewasa sulit dideteksi, karena mereka dianggap ada di usia legal dan bisa menentukan pilihan sendiri. Padahal seperti yang aku jelaskan di atas, ucapan-ucapan bujuk rayu dan permainan tekanan mental ini bisa membuat seseorang tidak bisa berpikir dengan jernih dan masuk ke dalam kategori manipulatif atau gashlighting.


Tapi apakah kita sebuntu itu dalam menghadapi pemaksaan pernikahan ini? Tentu saja tidak. Permasalahan ini sebenarnya bisa diatasi dengan mudah, yakni keterbukaan dalam berpikir, khususnya dari sisi orang tua. Tapi sayangnya solusi yang mudah ini bisa jadi buntu karena orang tua merasa paling tahu dan menjadikan orang lain sebagai standar kebahagiaan. 


Jika aku bisa memberikan masukan kepada orang tua yang gelisah karena anaknya belum menikah, aku akan bilang santai dulu Pak-Bu. Aku tahu banget ambisi menikahkan anak Bapak dan Ibu itu besar tapi biarlah anak yang menentukan sendiri pilihan hidupnya.


Memang, Bapak dan Ibu sudah lebih berpengalaman tetapi apa yang baik menurut Bapak dan Ibu, belum tentu sama di mata anak. Cobalah lihat dengan seksama, apakah belum menikah membuat anak Bapak dan Ibu menderita? Coba tanyakan dan bicarakan dari hati ke hati. Dibandingkan mendengarkan apa kata orang, coba lebih sering mendengarkan apa kata anak Bapak dan Ibu. 


Jika bisa ngomong ke teman-teman yang belum menikah, aku akan bilang stay strong ya! Membahagiakan orang tua memang penting, tapi prioritaskan kebahagiaan diri sendiri. Jika sekarang kamu memutuskan menikah demi kebahagiaan orang tua, apakah nanti jika orang tua ingin bahagia dengan punya cucu kamu juga akan menurutinya?


Yang paling tahu kebahagiaanmu ya dirimu sendiri. Pernikahan yang menjalani kan dirimu, jadi prioritaskan kebahagiaanmu sebelum kebahagiaan orang lain. 


Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.


Sumber data:

1. KUPI: Wajib Hukumnya Melindungi Perempuan dari Kawin Paksa (voaindonesia.com)

2. Perselisihan hingga Kawin Paksa, Ini Alasan Perceraian di Indonesia pada 2023 (katadata.co.id)

3. Pernikahan Paksa dan Perdagangan Manusia - Jalan Keluar (theexodusroad-com.translate.goog)


Get notifications from this blog