Lulusan Keguruan Nggak Jadi Guru, So What Gitu Loh?
"Kenapa kamu nggak ngajar aja? Kan sayang banget ilmunya selama di perkuliahan."
Itu adalah dua kalimat yang sering banget aku terima saat membahas pekerjaanku saat ini. Aku adalah lulusan Pendidikan Sejarah yang berakhir bekerja jauh dari bidangku saat kuliah. Saat ini aku bekerja di perusahaan IT software sebagai content writer. Pekerjaan yang sebetulnya sesuai dengan cita-citaku dari dulu, tetapi dianggap sebagai bentuk kegagalan karena tidak sesuai dengan jurusanku saat kuliah.
Sebetulnya tidak hanya dua kalimat di atas, lebih banyak lagi kalimat-kalimat yang mengungkapnya 'sayang banget ilmunya nggak kepake', padahal nggak semua orang yang kuliah keguruan itu bisa ngajar! Aku salah satunya.
Saat ini aku bekerja secara remote dari rumah. Kalau bosan atau merasa suntuk, aku kerja dari tempat lain. Kadang juga traveling ke luar kota selama seminggu hingga dua minggu biar pikiran bisa fresh lagi. Ini adalah pekerjaan impianku banget. Aku suka jalan-jalan dan aku juga suka nulis. Jika bisa bekerja sesuai impian dan passion, kenapa harus mempertimbangkan pekerjaan yang di luar itu hanya karena sesuai jurusan kuliah?
Aku bekerja sebagai content writer ini sejak April 2020, satu bulan setelah kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Di saat pekerja di Indonesia was-was karena isu PHK di masa depan, aku justru menemukan pekerjaan. Secara remote pula dimana aku tidak perlu kemana-mana untuk kerja. Sesuai banget sama anjuran pemerintah untuk di rumah saat itu.
Meski begitu, tidak segalanya berjalan dengan lancar saat itu. Aku bekerja di perusahaan IT dengan produk software akuntansi, sesuatu yang jauh dari basic pendidikanku yakni Pendidikan Sejarah. Bahkan saat itu aku tidak tahu istilah invoice. Bayangkan, bagaimana bisa karyawan software akuntansi nggak tahu istilah invoice atau dokumen untuk tagihan pembayaran?
Tidak hanya invoice, saat itu aku juga tidak tahu apa itu penyimpanan cloud. Cloud yang aku tahu saat itu hanya cloud adalah awan dalam bahasa Inggris. Padahal, cloud yang dimaksud dalam dunia software adalah penyimpanan data yang ada di internet. Tapi aku merahasiakan ketidaktahuanku ini dari bos. Pokoknya aku harus bisa mengatasi ketidaktahuanku ini tanpa menunjukannya kepada atasan, bisa dengan searching di search engine seperti Google ataupun bertanya ke teman yang kuliah di jurusan akuntansi.
Lalu setelah dengan perjuangan sedemikian rupa sehingga ini, aku diminta untuk meninggalkan pekerjaan ini demi mengejar pekerjaan yang sesuai jurusan kuliah? Terlebih dengan gaji guru honor saat itu (termasuk juga saat ini), terbilang sangat miris. Tetanggaku saja saat itu mengeluh karena mendapatkan gaji Rp 1 juta, untuk empat bulan mengajar. Jika dibandingkan dengan tarif satu kali endorse Rachel Vennya, guru honoror harus bekerja selama 60 bulan. Itupun dengan syarat gajinya nggak boleh dipakai sama sekali.
Sedangkan saat itu gajiku sebagai content writer jauh lebih layak. Belum lagi, pengeluaran untuk pekerja remote jauh lebih rendah dibandingkan dengan guru honorer. Aku nggak perlu biaya beli baju kerja, sepatu kerja, tas kerja, dan tetek bengeknya. Aku juga bisa menumpang di rumah orang tua sehingga tidak perlu memikirkan biaya untuk kos.
Tapi lebih dari itu, pada dasarnya aku emang nggak punya passion mengajar. Dulu saat masuk jurusan Pendidikan Sejarah, prinsipku yang penting bisa kuliah. Pakai beasiswa pula. Belum lagi, jurusan tersebut ada di pilihan terakhir yang kupilih saat mendaftar SBMPTN dan aku sudah satu tahun gap year. Masih untung bisa diterima.
Selama 4 tahun kerja sebagai content writer ini, setiap hari aku selalu merasa bersyukur. Bisa dibilang sebelum aku diterima kerja, aku mengalami masa-masa yang cukup berat. Aku dipecat dari pekerjaan pertamaku dan pandemi datang. Bahkan aku masih ingat banget, di lowongan kerja yang aku lamar tertulis syarat: lulusan akuntansi atau ekonomi. Karena keputusasaanku, aku tetap melamar kerja dan akhirnya diterima.
Meski telah bekerja selama 4 tahun, aku masih mendapatkan ucapan 'sayang banget' saat membicarakan pekerjaan. Ada juga yang bilang. "Nggak apa-apa ngajar aja dulu, nanti juga bisa diterima jadi PNS." Dan jawabanku selalu, "Hehe, iya," meski sebenarnya dalam hati misuh: lulusan guru nggak jadi guru, so what gitu loh?
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Get notifications from this blog