Review Buku Life as Divorcee: Cara Mempersiapkan Pernikahan yang Wajib Diketahui
Di umur seperti aku saat ini, menikah menjadi bahasan yang nggak ada habis-habisnya untuk dibahas. Hampir setiap bulan aku mendapatkan undangan pernikahan dari teman. Kalau ketemu temen yang rese bin ngeselin, mereka akan tanya, “Kamu kapan?” Padahal yang nanya kadangan juga belum nikah.
Aku masih selow menanggapi pertanyaan-pertanyaan kapan nikah. Alasannya sederhana, buatku menikah itu bukan tolak ukur sebuah kebahagiaan. Menikah juga bukan suatu perlombaan siapa paling cepat itu yang menang. Ada banyak hal yang harus dipikirkan secara matang-matang terkait pernikahan ini, karena pastinya aku ingin menikah sekali seumur hidup.
Aku juga merasa butuh bekal dalam menjalani pernikahan ini, dengan ilmu dan kekuatan finansial pastinya. Nah, dalam rangka menunjang pernikahan dengan ilmu, aku beli buku berjudul Life as Divorcee yang ditulis oleh Virly K.A. Aku tertarik buku ini setelah membaca iklan di Instagram Mojok. Biar lebih jelas, berikut isi buku yang penting banget diketahui para calon pengantin:
Buku Tentang Pengalaman Cerai
Aku membeli buku ini dengan ekspektasi akan mendapatkan kiat-kiat mempersiapkan pernikahan, tapi ternyata zonk. Buku ini menceritakan tentang pengalaman cerai sang penulis. Ya, aku yang salah sih, jelas-jelas dari judulnya aja ‘Divorcee’ yang merupakan plesetan dari divorce yang artinya cerai dan oleh sang penulis diartikan oleh orang yang bercerai.
Meski banyak bahasan tentang kehidupan setelah perceraian, buku Life as Divorcee juga membahas hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum menikah.
Bagian ini diberi judul Pre-Marriage Talk I Didn’t Do atau obrolan sebelum nikah yang nggak penulis lakukan. Ini bagian yang penting banget menurut aku, karena pre-marriage ini bisa menjadi bekal dalam membina sebuah rumah tangga.
Menyatukan dua manusia dan dua keluarga yang berbeda itu nggak mudah, jadi perlu adanya percakapan untuk saling mengenal.
Percapakan pertama yang perlu dilakukan adalah terkait hidup dan prinsip
Setiap individu manusia pasti memiliki kehidupan dan prinsip hidup beda-beda. Anak kembar yang lahir dari satu rahim saja memiliki perbedaan terkait prinsip hidup ini, apalagi dua manusia berbeda jenis kelamin dan latar keluarga, kan. Kamu yang akan menikah wajib banget membicarakan prinsip hidup ini dengan pasangan.
Misalnya, kamu adalah manusia yang menyukai kebebasan, pastikan mengatakan apa saja yang kamu inginkan, apa saja yang bisa kamu kompromikan, dan apa saja yang tidak bisa dikompromikan.
Dengan mengatakan prinsip ini, kamu dan pasangan akan lebih mengenal satu sama lain dan tahu apa yang harus dilakukan dan apa saja batasannya. Aku misalnya, aku adalah orang yang penuh kebebasan dan keluarga bukan jenis keluarga patriarki.
Tentu, aku nggak bisa kalau sama orang yang posesif yang mana mau beli bakso aja harus izin atau pasangan yang merasa laki-laki berada di atas segalanya. Makan harus nunggu suami pulang, dan lainnya, tentu itu nggak cocok buat aku yang dibesarkan dari keluarganya yang moderat.
Pastikan juga sebelum nikah kamu sudah tahu apa prinsip hidupmu dan apa keinginanmu di masa depan. Kamu perlu banget membicarakan terkait pekerjaan ketika sudah menikah. Apakah akan tetap bekerja atau jadi ibu rumah tangga.
Jangan sampai berpedoman ‘lakukan aja dulu’ karena kalau sudah menikah, kita nggak bisa balik kayak semula. Nggak bisa mundur dengan seenaknya sendiri dan sekalipun bisa, keadaan udah beda. Statusmu akan berbeda dengan status sebelum menikah.
Kedua, terkait visi dan impian
Membicarakan visi dan impian juga penting untuk dilakukan sebelum menikah. Kamu pastinya nggak ingin kamu mengubur impian setelah menikah, bukan? Hidup terus berlanjut meskipun sudah menikah dan pastinya kita ingin menikah nggak menghalangi meraih impian.
Kamu wajib membicarakan visi dan impian ini dengan pasangan. Kamu yang memiliki impian besar dan rencana-rencana besar di masa depan, pastinya butuh pasangan yang bisa mendukungnya.
Sekalipun nggak mendukung, setidaknya pasangan nggak menghalangi kamu meraih impian tersebut. Namun buat kamu yang memiliki rencana-rencana hidup yang besar, sanggup hidup bersama pasangan yang ‘jalani hidup seperti air mengalir’ atau pasangan yang nggak punya visi hidup?
Ketiga, terkait anak
Ada pasangan di luar sana yang tidak ingin punya anak dan ada yang berencana punya anak banyak. Kamu wajib membicarakan anak ini dengan pasangan. Kamu ingin punya anak atau tidak, jika ingin punya anak berapa anak yang akan dimiliki, termasuk bagaimana membesarkannya nanti pakai jasa baby sitter atau diurus sendiri, dan semua terkait anak.
Jangan sampai kamu yang mendukung program keluarga berencana pemerintah justru menikah dengan laki-laki yang harus punya anak lebih dari 5. Apalagi bagi perempuan yang nantinya akan hamil, melahirkan, menyusui, dan memakai alat kontrasepsi, pastikan pasangan memiliki pemikiran yang sejalan denganmu atau setidaknya kamu dapat mengkomprominya. Karena bagaimanapun, kamu yang akan merasakannya dan tubuhmu sepenuhnya adalah milikmu.
Keempat, terkait keuangan
Keuangan menjaid perbincangan yang cukup sensitif namun penting untuk dilakukan. Tidak dipungkiri, keuangan sering menjadi permasalahan banyak pasangan dan banyak juga yang akhirnya cerai karena masalah keuangan ini. Meski masih ada yang menganggapnya tabu, kamu tetap wajib membicarakannya dengan pasangan.
Kamu harus tahu dari mana sumber pendapatan kamu dan pasangan nantinya. Apakah hanya dia yang bekerja atau juga kamu ikut bekerja. Pembagian uang belanja juga nanti bagaimana, termasuk jumlah tabungan dan aset yang dimiliki termasuk bagaimana nanti tabungan untuk anak dan hari tua. Apakah tetap memberi uang kepada keluarga juga harus dibicarakan sebelum pernikahan. Jangan sampai kamu merasa tidak adil ketika menikah tapi tidak bisa protes.
Kelima, terkait perceraian
Tidak ada orang yang menikah lalu berencana cerai (kecuali di drama atau film). Kamu pasti ingin menikah sekali seumur hidun. Namun yang namanya hidup, segala risiko buruk bisa terjadi, termasuk bercerai.
Kamu juga wajib membicarakan terkait perceraian dengan pasangan. Siapa yang akan mengurus anak dan bagaimana tunjangan untuk anak (jika punya anak). Termasuk hal-hal yang kamu toleransi dan nggak toleransi yang bisa menyebabkan perceraian.
Misalnya, kamu masih bisa toleransi pasangan yang ngomong kasar, tapi nggak toleransi terhadap kekerasan fisik dan perselingkuhan. Pastikan kamu membicarakan ini agar kamu dan pasangan tahu batas apa yang harus dicegah.
Keenam, terkait seks
Bagi sebagian orang membicarakan seks sebelum nikah adalah hal tabu, tapi ini juga penting untuk dilakukan. Namanya nikah pasti nggak bisa dipisahkan dari seks. Kamu bisa membicarakan jika memiliki gangguan reproduksi atau hal-hal lainnya dengan pasangannya dan menanyakan apakah pasangan bisa menerimanya.
Kalau aku pribadi perlu tahu bagaimana pendapat pasangan terkait keperawanan. Takutnya, pasangan adalah orang yang menganggap perawan adalah yang keluar darah saat malam pertama dan menginginkan istrinya perawan saat menikah dengannya. Nah, jika saat malam pertama nggak berdarah, kan bisa bahaya. Pastikan pasangan mau belajar terkait seks dan masalah kesehatan reproduksi.
Menikah Bukan Happy Ever Forever
“Ehheemmm, baper banget liat mereka nikah. Ya ampun pengen nikah bahagia gitu,” adalah hal yang sering banget diucapkan cewek-cewek muda sekitar umur 18-23 tahun. Aku juga pernah ada di posisi seperti itu, “Capek kuliah, nikah aja deh.”
Padahal, hellooo, lu aja kuliah capek, apalagi dengan nikah. Kuliah lho untuk S1 cuma 4-7 tahun. Lebih dari itu kamu dropout. Nah, kalau nikah itu seumur hidup, nggak bisa capek, apalagi menyerah. Jadi, buat yang sering menjadikan nikah solusi segala masalah, stop dari sekarang.
Pernikahan di dunia nyata itu nggak kayak di cerita dongeng atau drama Korea. Di dongeng, setelah menikah cerita berakhir, padahal di dunia nyata setelah nikah ada banyak cerita yang kalau dibuat drama nggak cukup 1000 episode.
Kata temenku, orang yang menikah bisa bercerai hanya karena suami menggulung pasta gigi yang hampir habis, sedangkan istri nggak suka pasta gigi digulung-gulung.
Temen-temenku yang sudah nikah, bukannya bilang, “Nikah enak lhooo, kamu nggak pengen,” malah menasehati, “Pikirkan dengan matang-matang sebelum nikah.
Persiapkan segalanya khususnya finansial.” Karena itu, ketika udah nikah, kita nggak bisa kembali kayak semula. Akan ada kebebasan yang hilang karena pernikahan.
Kehidupan sebagai Divorcee atau Janda
Seperti yang aku bilang di atas, jika buku Life as Divorcee banyak membahas tentang kehidupan setelah cerai dan mencegah perceraian, maka di sini kamu akan menemukan kehidupan penulis sebagai janda atau divorcee.
Menjadi janda (bahkan dari namanya) itu bukan sesuatu yang mudah. Di lingkungan sosial, hidup sebagai janda juga bukan hal yang mudah, terlebih dengan adnaya streotip-streotip yang menempel pada status janda.
Harga dan Tebal Buku
Dengan harga Rp78.000, buku Life as Divorcee ini hanya 138 yang artinya sangat tipis. Teman yang mendapatkan buku ini sebelum bukuku sampai di tangan sampai mengeluhkan tipisnya buku ini.
Jika dibandingkan standar harga buku yang bisa kami beli, buku Life as Divorcee memang mahal. Dari cover juga nggak ada yang special dan kertas yang dipakai juga terbilang nggak sebagus buku-buku lainnya.
Buat aku yang belum ‘ngerti’ tentang perceraian dan nggak relate, banyak bagian di buku ini yang aku skip. Tapi untuk bagian pre-marriage talk menurutku itu memang jadi bagian paling menarik.
Untuk keseluruhan, buku ini cukup enak dibaca, meski sang penulis cukup menggebu-gebu menuliskannya. Ya, mungkin itu yang harus dilakukan agar generasi muda nggak menjadi menikah sebagai tujuan dan solusi menyelesaikan segala masalah.
Menikah Tidak, Ya?
Jika ada yang bilang menikah hukumnya wajib, pastikan kamu mengoreksinya. Dalam Islam, menikah itu hukumnya boleh atau mubah, dan dapat berubah sesuai keadaan orang yang bersangkutan.
Bisa juga wajib jika memang orang yang bersangkutan sudah mampu secara lahir dan batin (finansial khususnya) dan tidak bisa ditahan lagi. Bisa haram jika nikah bertujuan untuk menyakiti.
Jika ada yang bilang menikah adalah menyempurnakan agama, katakan juga masih ada cara lain menyempurnakan agama selain nikah, memenuhi rukun islam misalnya. Pokoknya jangan sampai kamu terintimidasi sampai mau terburu-buru nikah karena omongan orang lain. Ingat, yang menjalani kamu, jadi pastikan pertimbangkan segala hal dari sisi kamu yang akan menjalankan. Orang cuma bisa bacot, kalau kamu disakiti atau gagal, mereka ya nggak bakal bantu, nggak bacot lagi aja untung.
Get notifications from this blog
Wow, buku ini patut dibaca, ga hanya bagi yang berencana menikah tetapi semua laki2 dan perempuan. Biar mengerti makna pernikahan dan jika ujungnya perceraian ...ah serem ini semoga ga ya hehehe... Sulit dipahami jika memang mesti terjadi hiks :(
ReplyDeleteIya, mbak. Bisa nih dibaca bukunya, apalagi yang mau nikah, biar bisa mencegah hal2 yg tidak2 nantinya: perceraian
Deletewow, kayanya bagus reviewnya daripada isi bukunya :D
ReplyDeletesaya suka dengan gaya Desi mereview buku
saya setuju menikah bukan tolak ukur sebuah kebahagiaan
bahkan bisa dibaratkan dengan padang kurusetra
karena akan muncul banyak masalah yang kita gak duga
Terima kasih mbak maria. Iya nih, di usiaku gini nikah lagi jadi topik utama. Tapi ya itu aku gak mau jadiin nikah dan kebahagiaan orang lain jadi tolak ukur kebahagiaanku sendiri. Jadi, ya jalani aja hidup, masih banyak hal yang bisa dilakukan selain galau, hehe
DeleteSayang bahasan yang jadi judul buku malah dilewatkan. Cukup banyakkah bahasan tentang itu?
ReplyDeleteIni aku mengulas dari sisi yang relate aja karena kalo dibahas semua jadi banyak banget
DeleteDivorce tidak bisa terlewatkan jika pasangan kemudian memutuskan, halal tapi dibenci oleh Illahi. Buku ini berisi perjalanan kehidupan berkeluarga dengan segala konsekuensinya apabila kemudian divorce.
ReplyDeleteBagus nih bukunya. Emang obrolan pra nikah itu penting banget supaya bisa saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.
ReplyDeleteDulu calon suami saya pernah bertanya, "Kalau lebaran, ibuku tuh pengen kumpul di hari pertama" Waktu itu aku jawabnya simpel aja, "ya udah lebaran hari pertama di keluargamu, baru hari kedua di keluargaku"
Dia bilang nggak semudah itu, kamu juga harus memikirkan perasaan orang tuamu gimana setiap hari pertama lebaran kamu nggak ada.
Setelah menikah, baru deh kerasa kalau ucapan dia dulu ini penting banget
Tidak perlu takut bercerai jika rumah tangga audah tidak sehat. Kita harua menyelamatkan diri agar tetap waras.
ReplyDeleteNyatanya memasuki gerbang pernikahan itu banyak persiapannya. Bukan sekedar membawa cinta hingga yakin bahwa semua kebutuhan dan permasalahan kehidupan berumahtangga akan selesai. Reviewnya keren Mbak Desi. Jadi penasaran ingin memiliki dan membaca sendiri bukunya
ReplyDelete