Percayalah, Jomblo Itu Lebih Baik Daripada Pacaran
Dulu saat aku masih SMP aku sering menganggap orang yang belum pernah pacaran adalah orang yang keren. Ya, di saat yang lainnya sudah gonta-ganti pacar sampai belasan bahkan puluhan kali, dia masih setia terhadap kesendirian. Menurutku saat itu orang yang belum pernah pacaran – apalagi sampai umur 20 tahun – adalah orang yang memiliki prinsip. Setidaknya setelah aku sampai di umur 25 tahun dan belum pernah pacaran. Ternyata segalanya nggak seindah apa yang dulu aku pikirkan.
Aku nggak bilang belum pernah pacaran itu penuh nestapa, ada beberapa hal positif yang didapatkan dengan belum pernah pacaran. Misalnya, aku nggak pernah diribetkan dengan mantan yang nikah duluan. Teman-teman aku banyak yang mengalami ini dan ketika mereka cerita ke aku, mereka terlihat frustasi. Seolah-olah mereka merasa kalah karena mantan telah menemukan jodoh lebih dulu. Sedangkan aku yang mendengarkan bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya datang ke nikahan mantan.
Hal positif kedua yang didapatkan karena belum pernah pacaran adalah tidak ada kenangan yang menyebabkan susah move on. Ya, aku mau move on dari siapa? Sesuka-sukanya sama orang tetap saja berbeda dengan mereka yang pernah saling mencintai lalu putus dengan alasan tidak lagi saling mencintai. Teman-teman aku sering bilang ini ke aku saat aku cerita aku sedang patah hati. Kata mereka, “Tetap aja beda belum pacaran sama yang udah pacaran. Tetap sakit yang pernah pacaran.” Aku akhirnya iyain aja karena aku emang nggak tahu gimana rasanya patah hati setelah pacaran.
Selanjutnya, dengan belum pernah pacaran aku banyak menghabiskan waktu untuk mengembangkan diri (dan nonton drama Korea). Aku tidak pernah memiliki tanggung jawab menghubungi seseorang untuk memberikan kabar, termasuk menanyakan hal-hal basa-basi seperti udah makan belum atau mimpi apa semalam. Aku juga tidak akan risau ketika tidak mendengar kabar dia seharian atau ketika dia tiba-tiba berubah sikap, aku nggak akan ribet menerka-nerka penyebabnya. Hidup aku adalah sepenuhnya milik aku.
Tapi ketika aku mencapai umur seperempat abad, aku baru merasakan nggak enaknya belum pernah pacaran. Sebenarnya dulu juga ada, tapi aku tidak terlalu peduli. Makanya baru sekarang ini merasakan dampak ‘loveless’. Belum pernah pacaran membuat menerima orang baru itu sulit banget. Duh, apalagi cowok-cowok yang datang dengan rayuan ala puluhan tahun yang lalu. Ucapan selamat pagi dan pertanyaan basa-basi membuat sangat tidak nyaman. Apalagi ternyata masih ada cowok yang mengajak kenalan dengan cara klise, tanya nama, alamat, hobi, pekerjaan, yang nggak lebih kayak data-data di formulir pendaftaran.
Ternyata tidak hanya aku yang merasakannya. Teman-teman aku yang belum pernah pacaran juga turut merasakannya. Gimana ya, kami kan biasa sendiri dan tiba-tiba harus menerima orang asing itu rasanya sangat aneh dan tidak nyaman. Apalagi membayangkan bakal hidup sama dia seumur hidup, bangun tidur ada dia, harus menjadikannya imam, dan membagi segalanya dengan dia. Seriusan, itu nggak seindah yang aku bayangkan saat aku berumur 18 sampai awal 20 tahun.
Belum lagi nasihat-nasihat dari teman-teman ‘tidak sependeritaan’ yang lebih sering mengintimidasi daripada memberikan nasihat. Misalnya saja ketika aku cerita sulitnya menerima orang baru (karena mereka tanya), mereka akan menjawabnya dengan, “Makanya buka hati.” Atau, “Makanya jangan terlalu dingin sama cowok.” Ya, semua orang juga tahu harus membuka hati untuk bisa menerima orang baru tapi bagaimana caranya itu yang sulit. Sampai ada juga yang menasihati aku agar lebih ramah ke cowok yang mengajak kenalan dan ketika aku lakukan ternyata rasanya nggak nyaman.
Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan kesendirian aku. Karena tidak pernah merasakan rasanya diperhatikan, jadi ketika aku sendirian aku baik-baik saja. Tapi ketika melihat orang lain berpasangan, aku tiba-tiba bertanya ke diri sendiri, “Aku normal nggak sih?” Dan ternyata itu juga dirasakan oleh teman aku yang belum pernah pacaran. Bagaimana pun, menikah selalu dianggap sebagai tahap kehidupan manusia. Jika belum menikah maka akan dianggap masih stagnan di tahap sebelumnya.
Ada beberapa yang bilang ke aku soal kewajiban menikah dan risiko jika menikah terlalu ‘tua’ yang biasanya nggak jauh-jauh dari, “Nanti anakmu masih kecil kamu udah mbah-mbah.” Jika yang bilang teman, biasanya aku akan bilang hukum menikah yang mengikuti keadaan orang yang bersangkutan dan menikah muda atau dewasa itu memiliki risiko masing-masing. Saat muda misalnya, ketika teman-temannya masih bisa nongkrong sana-sini dan bisa jalan-jalan dengan bebas, dia harus mengurus anak dan suami. Wajar jika masa tuanya digunakan untuk leha-leha karena anak-anak sudah besar.
Namun jika orang yang bilang ke aku cukup menyebalkan, aku hanya akan senyum atau bilang, “Udah, daripada cuma kasih nasihat, mending kenalin kamu cariin aku jodoh yang sesuai kriteriaku.” Dan biasanya mereka akan langsung diam karena nggak bisa kasih solusi itu.
Get notifications from this blog