Kuliah di Keguruan tapi Tidak Mau Jadi Guru, Maunya Jadi Apa
sumber: https://www.brilio.net/musik/6-fakta-lagu-guruku-tersayang-jadi-lagu-wajib-di-hari-guru-181126a.html |
Lalu
perihal saya yang pada akhirnya masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
pada saat itu saya hanya memiliki pilihan menjadi TKW atau kuliah dan Alhamdulillah
saya diterima di PTN dengan program studi pilihan terakhir yaitu Pendidikan
Sejarah. Pada saat pengumuman SBMPTN saya kecewa. Bayangkan, saya yang seumur
hidup tidak pernah ingin jadi guru malah masuk FKIP. Tapi sekali lagi, saya
hanya memiliki dua pilihan: menjadi TKW atau kuliah di FKIP dan saya memilih
kuliah di FKIP karena ada beasiswa Bidikmisi. Saat itu saya berkata pada diri
sendiri untuk menenangkan, “sekarang banyak kok yang kerja tapi nggak sesuai
jurusan. Toh kuliah itu bukan cuma buat mendapatkan ijazah, tapi buat mengubah
pola pikir.” Saat itu saya bilang gitu dan berlanjut sampai semester-semester
awal, tapi ketika menjelang lulus, semua tidak semudah itu, Ferguso!
Setidaknya
jika seorang mahasiswa keguruan ingin bekerja di luar jurusan keguruan, ia
harus memiliki nilai lebih dibandingkan mereka yang emang kuliah sesuai
bidangnya dan harus ada bukti dari nilai lebih tersebut. Jangan naïf deh,
ketika bilang ‘saya tetap bisa melamar di pekerjaan untuk semua jurusan’ tapi
tidak punya nilai lebih, pasti akan kalah sama yang jurusannya sesuai.
Perusahaan nggak mau rugi merekrut karyawan yang salah. Meski katanya sekarang
banyak yang kerja nggak sesuai dengan jurusan, tetap saja harus menyertakan
ijazah dan CV ketika melamar pekerjaan. Sebelum bertemu langsung dengan
pelamar, perusahaan pasti akan melihat ijazah dan CV terlebih dahulu dan itu
yang jadi pertimbangan pertama mereka. Kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan dengan
orang dalam di dalamnya. Udah tenang aja, pasti diterima.
Sampai
saat ini saya dan teman-teman saya yang tidak mau jadi guru tapi terjebak di
fakultas keguruan masih bingung menjelaskan alasan tidak mau jadi guru.
Baiklah, kami bisa menjelaskan perihal gaji guru yang subhanallah bikin
ngelus dada, tapi jawaban itu kok ya terlalu matrealistis. Terakhir kali
teman saya – yang ingin jadi guru – melamar di salah satu sekolah Islam terpadu
dan ketika wawancara disebutkan gaji di sekolah tersebut adalah Rp
750.000/bulan. Teman saya seketika galau. Ukuran gaji segitu buat makan aja
nggak cukup, belum lagi buat sewa tempat tinggal. Meski katanya cinta dengan
pekerjaan guru, tetap saja harus realistis. Buat apa cinta kalo nggak bisa
makan?
Saya
sendiri tidak pernah menjawab perihal gaji guru yang miris ketika mendapat
pertanyaan ‘kenapa saya tidak mau jadi guru’. Selain terdengar sangat realistis
tapi matrealistis, para penanya tetap bisa berdalih dengan mengatakan ‘nanti
kan lama-lama bisa diangkat jadi PNS’. Iya, tapi maksudnya sebelum diangkat
jadi PNS harus berlapar-lapar dahulu, gitu? Jelas nggak gitu, Mas, Mbak!
Menjadi
guru merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Bahkan dalam Islam, salah satu amalan
yang tidak akan pernah putus adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang diajarkan
oleh seorang guru akan terus mengalirkan pahala bahkan setelah guru tersebut
meninggal. Dalam konteks tersebut, siapa sih yang nggak mau mendapatkan berkah
dunia dan akhirat? Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika menjadi
guru kamu bisa menjadi guru yang baik? Kita bisa melihat ketika kita sekolah
dulu tidak semua guru menyenangkan. Banyak dari kita yang milih tidur saat
diajar oleh beliau dan di belakang beliau, membicarakan serta mendoakan yang
buruk-buruk seperti ‘semoga Bu A sakit dan tidak masuk ke kelas’ atau ‘semoga
Bu A tidak mendapatkan angkot biar nggak masuk kelas’ dan bisa lebih parah
lagi. Itu pernah saya lakukan saat sekolah dulu.
Saya
tidak takut karma. Jika memang saya menyukai pekerjaan tersebut, saya akan
mengambil risikonya. Tapi saya tidak menyukai pekerjaan tersebut dan saya takut
akan mempengaruhi performa saya ketika melakukan pekerjaan tersebut. Saya nggak
mau murid-murid saya benci dengan pelajaran Sejarah hanya karena memiliki guru
yang bekerja karena terpaksa seperti saya. Mereka berhak mendapatkan guru yang
kompeten. Mereka berhak mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan dan sulit
menciptakannya jika guru bekerja tidak sepenuh hati.
Sedangkan
untuk saya, sejak awal saya sudah memutuskan untuk tidak menjadi guru dan saya
sudah melakukan banyak perbekalan. Salah satunya dengan sering melatih
kemampuan menulis saya. Toh, menjadi penulis juga bisa jadi guru lewat
tulisan-tulisannya. Guru nggak mesti harus mengajar. Lalu terhadap
pertanyaan-pertanyaan ‘kenapa tidak mau jadi guru padahal kuliah di keguruan’
dan sejenisnya yang bikin lelah, jawab saja tidak semua pertanyaan memiliki
jawaban.
Ada
sebagian orang mengatakan kuliah tidak menentukan pekerjaan di masa depan. Ada
sebagian lain yang mengatakan kerja itu harus sesuai dengan jurusan saat
kuliah. Di antara dua pilihan sebagian orang tersebut, saya lebih sering
menemui orang-orang yang berpikiran kuliah kudu sesuai dengan jurusan saat
kuliah. Banyak mereka yang ketika bertanya pada saya, “nanti setelah lulus jadi
guru ya?” Dan saya menjawab, “enggak. Saya mau kerja di penerbitan.” Lalu saat
itu juga ekspresi mereka akan berubah sembari berkata, “lho kok gitu. Mbokan
kalo kuliah di keguruan itu jadi guru.” Dan saya hanya tersenyum, males
ribet menjelaskan alasan-alasan yang bagi saya yang hanya akan jadi pembelaan saya
tidak mau jadi guru.
Get notifications from this blog