Di Lampung Dianggap Orang Jawa, Di Jawa Dianggap Orang Lampung
https://mojok.co/dmn/esai/di-lampung-dianggap-orang-jawa-di-jawa-dianggap-orang-lampung/
Saat
masih duduk di bangku SD beberapa belas tahun yang lalu, saya pernah bertanya
pada teman saya, “kamu pernah ke Lampung?” dan jawaban teman saya adalah
“belum.” Kemudian saya tertawa, bagaimana mungkin belum pernah ke Lampung jika
pada detik itu berada di Lampung? Sebenarnya saya sudah memprediksi jawaban
teman saya tersebut sebelum menanyakannya. Tujuan saya menanyakannya sebenarnya
hanya untuk menertawakannya. Sama seperti saya yang menertawakan diri saya
sebelumnya atas jawaban yang sama. Kami, anak-anak yang ada di kampung saya
yang masih berada di Provinsi Lampung merasa bukan orang Lampung dan tidak
tinggal di Lampung. Hal itu dikarenakan sejak bisa ngomong kami selalu
menggunakan bahasa Jawa untuk percakapan sehari-hari. Kegiatan di kampung pun,
seperti ketika ada pengajian atau pengumuman di mushola selalu menggunakan
bahasa Jawa. Ketika ditanya “kamu orang apa?” saya selalu menjawab bahwa saya
orang Jawa. Sesuatu yang saat ini sering membuat saya dilema, karena ketika
berada di Jawa saya tidak diakui sebagai orang Jawa.
Saya
lahir di Lampung, tumbuh besar di Lampung, ber-KTP Provinsi Lampung dan saat
ini masih tinggal di Lampung, tapi saya tidak tahu apa-apa tentang Lampung.
Ketika berusaha ngomong bahasa Lampung – yang pernah diajarkan saat SD dan SMP
– saya akan ditertawakan karena aksennya terdengar aneh dan emang tidak bisa.
Saya juga tidak begitu tahu kebudayaan Lampung, setiap memperingati hari besar,
di kampung saya tidak pernah mengadakan acara kebudayaan Lampung tapi malah
kesenian Jawa seperti wayang kulit, kuda kepang, campur sari atau ketoprak. Saya
pernah bilang ke teman saya yang tinggal di Jawa kalau saya sedang menonton jaran
kepang di kampung saya dan dia heran, “kok di Lampung ada jaran kepang?”
Ya, kan emang orang Jawa, hanya saja tidak tinggal di Jawa.
Sebagai
mahasiswa Pendidikan Sejarah, saya tahu sedikit-sedikit tentang sejarah
transmigrasi yang ada di Lampung. Tapi kok ya rasanya bibir saya ini agak ndower
setiap kali berada di Jawa dan harus menjawab pertanyaan “kamu kan orang
Lampung tapi kok medok?” atau “kamu kan orang Lampung tapi kok ngapak?” dengan
jawaban “jadi sebenarnya 62% penduduk Lampung itu suku Jawa dikarenakan Lampung
merupakan daerah transmigrasi pertama sejak masa penjajahan Belanda, makanya di
Lampung ada Museum Transmigrasi yang ada di Kabupaten Pesawaran.” Kalau
pertanyaannya hanya sekali atau dua kali, I’m fine tapi ini hampir semua
orang yang mendengar saya bicara di Jawa menanyakannya. Iya, hampir semua,
bayangkan! Sebenarnya saya ingin sekali berpura-pura sebagai orang asli Lampung
dan tidak bisa bahasa Jawa, seperti teman saya yang bisa pura-pura tidak
mengerti bahasa Jawa ketika berada di Jawa, tapi logat saya tidak bisa
berbohong. Saya ini medok, plus ngapak. Jadi wajar saya banyak yang
bertanya-tanya, orang Lampung kok ngapak!
Untungnya
saya masih bisa berdalih sebagai orang Jawa karena bapak saya asli Sragen dan
merantau ke Lampung. Tapi teman-teman saya yang bapaknya lahir di Lampung,
ibunya lahir di Lampung dan dia juga lahir di Lampung, bagaimana
menjelaskannya? Paling mentok mengatakan leluhurnya merupakan transigran dari
Jawa, meski dia sendiri nggak tahu luluhur mana yang dia maksud. Pokoknya mbah-mbahnya
dulu orang Jawa.
Bagi
yang pernah mengunjungi tempat-tempat daerah transmigrasi, pasti akan tahu
bahwa orang-orang transmigran merupakan orang-orang yang sangat mencintai
kampung halamannya. Di Lampung sendiri tidak terhitung berapa jumlah kampung
atau desa yang namanya sama seperti nama daerah di Jawa. Banyak teman-teman
saya yang tinggal di Jawa heran ketika saya bilang di Kabupaten Pringsewu,
tempat saya tinggal ada kecamatan dan desa bernama Ambarawa, Banyumas,
Sukoharjo, Kediri, Brebes, Sidoharjo, Yogya, Wates, Margodadi, Sumberdadi, Sukorejo,
Pujodadi, Sidodadi dan lainnya yang bisa dipastikan berasal dari bahasa Jawa.
Kabupaten Pringsewu sendiri berasal dari bahasa Jawa, pring berarti
bambu dan sewu yang berarti seribu. Sejarahnya, saat terjadi
transmigrasi di Pringsewu masih terdapat banyak hutan bambu sehingga para
transmigran menamakan daerah tersebut Pringsewu dan di sekitar Pringsewu diberi
nama Pringkumpul dan Pringombo. Nama-nama yang Jawa banget.
Saya
sering kali merasa asing ketika berada di Lampung. Terlebih ketika berada di luar
Kabupaten Pringsewu. Alasan utamanya karena saya tidak mengerti bahasa Lampung
dan belum terbiasa dengan logat Lampung yang sama seperti orang-orang Sumatera
pada umumnya, keras dan tegas. Beda sekali ketika saya berada di Yogyakarta
atau Jawa Tengah dimana saya bisa menemukan orang-orang berbahasa Jawa
dimana-mana, berasa pulang kampung. Tapi tetap saja, bagi orang yang tinggal di
Jawa saya ini orang Lampung. Di Lampung saya dianggap orang Jawa dan bagi orang
yang ada di Jawa saya ini orang Lampung.
Meski
orang Lampung tidak mengakui saya sebagai orang Lampung, tapi orang Lampung
adalah orang-orang yang berjiwa besar. Bayangkan dong, kamu orang Lampung dan
ketika berada di Lampung kamu nggak ngerti obrolan orang-orang di sekitarmu
karena mereka menggunakan bahasa Jawa. Hal itu terjadi di kampus saya. Di kelas
kami – orang-orang berbahasa Jawa – selalu mengedepankan bahasa Jawa sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari. Bahkan ketika ada teman yang tidak mengerti bahasa
Jawa. Awalnya banyak yang protes tapi lama-lama mereka malah bisa bahasa Jawa.
Tidak sekadar opo kui atau sopo jenengmu, mereka bisa mengerti
percakapan yang panjang sekalipun. Jadi, kami tinggal di mana sih sebenarnya?
Sebenarnya
apa yang saya dan teman-teman saya galaukan bisa menjadi sesuatu yang nggak
galau-galau banget, karena meski orang Lampung tidak mengerti bahasa Jawa,
orang Jawa tidak mengerti bahasa Lampung, orang Batak tidak mengerti bahasa
Jawa Lampung, orang Jawa dan Lampung tidak mengerti bahasa Batak dan setiap
suku tidak mengerti bahasa suku lainnya, kita masih memiliki bahasa Indonesia.
Dengan bahasa Indonesia semua suku yang ada di Indonesia bisa saling berkomunikasi,
karena bahasa Indonesia adalah bahasa kesatuan. Meski kadang tetap saja
keceplosan dengan bahasa daerah seperti “aduh, bahasa Indonesianya apa ya?”
harap maklumi saja dan mohon pengertiannya.
Pernah dimuat di mojo.co dengan judul yang sama: https://mojok.co/dmn/esai/di-lampung-dianggap-orang-jawa-di-jawa-dianggap-orang-lampung/
Get notifications from this blog