Kampus Fiksi #19. Chapter #1 Rasanya Nggak Pengen Pulang
Kampus Fiksi #19. Chapter #1
Rasanya Nggak Pengen Pulang
Tulisan ini ditulis ketika punggung penulis terasa panas dan gatel
padahal baru saja mandi.
Menunggu giliran Kampus Fiksi itu rasanya seperti menunggu dia yang
nggak peka. Bukan terhitung bulan, tapi tahun, Gaes! Percaya atau tidak, dua
bulan yang lalu di saat saya sedang semangat untuk mengikuti KF #18, tiba-tiba
saya dihadapkan kenyataan bahwa ada mata kuliah yang tidak bisa saya
tinggalkan. Jadi, setelah perdebatan panjang di alam pikiran, saya memilih
mengorbankan KF18, dengan alasan saya masih bisa mengikuti Kampus Fiksi
angkatan selanjutnya, yaitu KF19 yang kebetulan diadakan pas saya baru libur
kuliah. Pun, untuk mengikuti KF19, saya was-was setiap hari dan berharap ada
seat kosong, hingga Mas Agus yang selalu menjadi tempat curhat kegelisahan saya
menunggu seat kosong merasa bosan L. Maaf, Mas Agus.
Hingga akhirnya saya mendapatkan seat kosong pada tanggal 09
Januari 2017, itu pun, setelah saya mengganggu Mbak Ve pagi-pagi sebelum Mbak
Ve ngantor. Kadang saya heran, alasan apa yang membuat saya begitu
menggebu-gebu untuk mengikuti Kampus Fiksi ini. Memikirkannya tiap malam,
mengorbankan uang yang angka nolnya itu ada enam dan juga menempuh perjalanan
yang panjang, meninggalkan Pulau Sumatera, menyeberangi Selat Sunda, melewati
Merak, Cilegon, Tangerang, Jakarta, naik kereta ke Semarang, baru setelah itu
menuju Jogja dengan bus. Tapi setelah menjalaninya, saya mendapatkan sesuatu
yang lebih dari itu semua.
#1 Nggak mandi itu biasa, guys!
Kesan pertama saya di Kampus Fiksi adalah nggak mandi itu hal yang
lumrah. Di Kampus Fiksi ketika menemui manusia yang nggak mandi, bukan sehari
atau dua hari, tapi satu minggu pun, itu biasa. Malah, keseringan mandi itu
yang abnormal. Jika tidak percaya, datanglah ke asrama Kampus Fiksi dan temui
Mas Reza Nufa, yang katanya rekor tidak mandinya adalah satu bulan. Padahal ya
saya nggak mandi sore aja sering dibully sama teman-teman kosan. Menemui
fenomena ini rasanya saya seperti memiliki pembelaan terhadap realita saya yang
malas mandi. Nanti, jika saya kembali ke sini, saya akan belajar pada Mas Reza
gimana caranya tetap PD meski nggak –pernah– mandi, tapi nggak sebulan juga.
Saya takut kehilangan fans jika saya nggak mandi selama satu bulan.
#2The Micinitis
Mereka bilang saya yang termicin.
Semua berawal dari permainan Werewolf di malam terakhir acara
Kampus Fiksi 19. Jujur saya katakan, saat itu saya berusaha dengan keras untuk
tetap kalem. Dengan berusaha untuk menahan kantuk, saya memilih ikut main WW
dengan pemahaman yang sangat minim. Mungkin karena pemahaman yang minim itu,
saya salah melakukan strategi. Bayangkan, saat itu saya menjadi –apa ya lupa
namanya, tapi kalau saya digantung oleh warga, saya akan menang– dimana
seharusnya saya membiarkan warga menggantung saya, tapi salah strategi. Saya
malah milih Mas Reza waktu itu. Beberapa detik kemudian saya baru menyadari
kekonyolan saya dan saya menyesalinya, Gaes. Sesi kekonyolan saya tidak hanya
sampai di situ, bisa dibilang banyak dari mereka yang tidak sadar dengan
kebodohan saya sesi pertama itu. Pada permainan selanjutnya, saya menjadi Seer
dan bodohnya, waktu moderator meminta saya membuka mata, saya lupa dan saya
malah mengeluarkan suara. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi. Dengan penuh
semangat saya berusaha meyakinkan pemain lainnya bahwa saya adalah Seer, namun
apa mau dikata, mereka memilih untuk menggantung saya, alasannya karena saya
Seer. Di sinilah saya mereka ada yang tidak beres. Warga harusnya melindungi
Seer karena Seer adalah menerawang, tapi di sini warga malah menggantung Seer.
Di sini saya curiga warga sudah mengubah judul permainan ini dengan ‘Seer’
karena efek terlalu banyak mengkonsumsi micin.
Sesi ketiga, nggak ada bedanya dengan sesi kedua. Kali ini saya
menjadi WW dan demi Provinsi Lampung yang saya tinggalkan dua minggu ini, saya merasa
ini beban yang sangat berat. Saya orang yang tidak pernah bisa berbohong,
apalagi dengan tipu daya ekspresi. Akhirnya warga tahu jika saya adalah WW,
tapi sekali lagi mereka micin. Bukannya menggantung WW, mereka malah memilih
untuk menyelamatkan WW. Di sinilah, saya mulai berpikiran untuk mengubah judul
permainan ini menjadi Seer.
#3 Pelatihan menulis? Saya rasa bukan.
Jika diminta untuk mengungkapkan kesan saya dengan Kampus Fiksi,
saya akan memilih kata ‘speechless’. Semua yang saya alami di Kampus Fiksi,
membuat saya kehilangan kata-kata dan saya orang yang seperti itu. Untuk
sesuatu yang sangat-sangat saya cintai, saya sulit untuk mengungkapkannya.
Bahagia, senang, haru, asik, entahlah pokoknya semua terangkum indah di dalam
ingatan dan hati saya. Nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
#4 Jogja rasa kampung halaman
Percayalah, saya adalah manusia yang mencintai kampung halamannya.
Kampung saya yang terletak di desa Pujodadi RT 01 RW 07 Kecamatan Pardasuka
Kabupaten Pringsewu Lampung, selalu menari-nari dimanapun saya berada. Sawah
yang terbentang luas, gunung-gunung yang menjulang tinggi dan suara-suara khas
perkampungan yang selalu membuat merindu. Tapi, sejak berada di tengah-tengah
kehidupan Kampus Fiksi, saya melupakan itu semua.
Bagi saya, Kampus Fiksi seperti keluarga. Saya seperti memiliki
orang tua di sini, yang selama tiga hari kebersamaan kami, mereka memberi
banyak nasihat kepada saya. Saya juga memiliki teman-teman yang seperti saudara
bagi saya. Mereka membuat saya tertawa, meski hanya dengan guyonan garing
mereka.
Juga, untuk pertama kalinya, dalam hidup saya, saya merasa berat
meninggalkan sebuah tempat selain rumah saya. Pada malam-malam terakhir Kampus
Fiksi, perasaan saya sama seperti malam-malam terakhir saya di rumah sebelum
saya harus kembali ke Bandar Lampung untuk kuliah keesokan harinya. Padahal
saya baru beberapa hari di Gedung Kampus Fiksi dan itu sebuah fenomena baru.
Lebih dramatisnya, saya tidak bisa dengan mudah untuk kembali ke tempat ini.
Lampung-Jogja menyisakan jarak yang tidak dekat dan malam-malam terakhir di
Kampus Fiksi, saya berpikir, bagaimana jika saya merindukan teman-teman di
sini? Dengan cara apa saya bisa mengobatinya?
Ahh, andaikan kampung halaman saya di Jogja.
#5 Saya benci pertemuan singkat ini.
Kemarin, ketika saya baru saya turun dari mobil di depan Indomaret
Jalan Ringroad Selatan dan membiarkan Mas Imam alias Mas Sabar dan Mas Kiki
berlalu, saya berpikir, mungkin lebih baik jika saya tidak mengikuti Kampus
Fiksi. Sungguh, saya sangat berat meninggalkan mereka semua. Bagi saya semua
ini seperti mimpi. Sangat singkat. Mungkin jika tidak ada foto-foto dan buku
satu kardus yang kini jadi milik saya, saya tidak akan percaya bahwa
detik-detik bersama mereka memang pernah ada.
Saya benci pertemuan singkat ini, sungguh. Terlebih, dengan
kenyataan bahwa saya akan kesulitan kembali ke tempat ini. Lampung-Jogja selalu
menjadi penghalang yang mau tidak mau, esok saya harus memendam rindu.
#6 Saya jatuh cinta tapi tidak tahu dengan siapa
Seingat saya, saya pernah merasakan perasaan ini dua tahun yang
lalu. Saat itu seseorang dengan kurang ajarnya berhasil menyentuh inti hati ini
dan membuat hidup saya tidak lazim. Saya meriang. Saya rindu. Saya galau…
Dan semua ini, kini saya rasakan. Kemarin, saya juga berusaha
menemukan jawaban. Apa saya sedang jatuh cinta? Apa ada satu teman-teman Kampus
Fiksi yang membuat saya jatuh cinta? Tapi sampai menit-menit berlalu saya tidak
menemukan jawabannya. Padahal, jika sudah jatuh cinta, ditanya siapa yang
membuat jatuh cinta, satu detik pun cukup untuk menemukannya.
Mas Waw yang ketika ngomong ‘MICIN’ sangat khas, ada aksen Jawa
yang kental di sana. Mas Reza yang meski nggak mandi tetep aja PD, Uda Miko
yang menurut saya mempunyai pembawaan yang tenang dan saya percaya dia sangat
mencintai Teteh Zulfa yang Lebih Muda dari Akuh, Mbak Ve yang ternyata nggak
jauh beda dengan status-status yang sering ditulis di Facebook, Mas Imam
yang kayaknya mulai rela jika namanya kami ganti menjadi Mas Sabar, Mas Kiki
yang sangat-sangat mengganggu saat main WW, Mas Ubay dan Mas berbaju orange yang
sangat serasi saat main WW, Mbak Tiwi yang menurut saya cantiknya khas
perempuan Jawa banget, Mas Fakhri yang dia nyebelin banget saat main WW, Mbak
Intan yang kadang membuat saya heran ada dokter yang micin dan terkhusus untuk
Pak Edi, semoga Allah memberikan kemurahan rezeki karena kebaikan beliau saya
bisa merasakan semua ini. Serta teman-teman peserta KF19 yang memorable banget
buat saya. Saya menyesal dengan pertemuan singkat ini, saya ingin yang lebih
lama.
#7
Saatnya saya pulang
Hal pertama yang saya lakukan saat sampai di Lampung adalah
menceritakan pengalaman saya selama di Kampus Fiksi. Kepada sahabat-sahabat
saya di Unila dan juga keluarga saya di rumah, akan saya ceritakan bahwa hati
saya telah tertinggal di Kampus Fiksi dan saya harus kembali untuk membuatnya
utuh kembali. Saya juga akan mengingat pesan Pak Edi, bahwa saya harus tetap
kuliah dan jangan pernah konyol meninggalkan kuliah karena ingin jadi penulis.
Saya janji akan menyelesaikan kuliah saya secepatnya dan kembali ke Kampus
Fiksi lagi, atau jika saya tidak tahan dengan rindu yang saya rasakan, saya
akan menabung untuk bisa kembali.
Lampung merupakan tempat yang sangat menyenangkan, tapi tanpa
kalian, Lampung hanya menjadi tempat untuk menahan rindu.
#8 Pesan-pesan saya
Untuk Pak Edi: saya berharap banget ada Kampus Fiksi Road Show
Bandar Lampung dan jika memang ada, saya akan mengabdikan diri untuk
meramaikannya.
Untuk Mas Waw: percayalah Mas, Mas Waw itu yang paling micin.
Untuk Mas Reza: kayaknya Mas Reza harus memperbaiki intensitas
mandi deh, biar cepet dapat jodoh.
Untuk Mbak Ve: ditunggu upload-an foto nikahannya ya, Mbak!
Untuk Mbak Tiwi: hidup Korea!
Untuk Mbak Rina: semoga saya bisa secepatnya mengajukan bimbingan
menulis
Untuk Uda Miko: cepet lulus dan lamar Teteh yang Lebih Muda dari
Akuh
Untuk Mbak Intan: Dokter kok micin
Untuk Mas Agus dan Teh Din: jadian geh!
Untuk Mas Sabar: sabar ya, Mas!
Untuk Mas Kiki: jangan rusuh kalo main WW
Untuk Bella: jangan kangeh akuh!
Untuk Okta: cepet lulus!
Untuk Geng emak-emak: semangat nulis!
Untuk Mas Ubay: jangan sering berjemur yah!
Untuk Mas Nur: jadilah koki yang baik!
Untuk Aris: lain kali jangan bayangin kamar Mas Agus
Untuk Bene: kamu terlalu lebay korea, Gaes!
Untuk semua: please, jangan kangen akuhh…
Banguntapan-Bantul, 02-03 Februari 2017
Saya akan sangat merindukan semua hal di Kampus Fiksi ini
Doakan semoga saya mendapatkan limpahan rezeki dan bisa kembali
lagi.
Love, love, love, love dan love
Desi Murniati.
Get notifications from this blog
Wah dari Lampung juga ya kak Desi, salam kenal .
ReplyDelete